Sejarah Daging Nabati di Amerika

Sobat Vegan, daging nabati atau daging alternatif telah menjadi satu hal yang cukup populer dalam pola makan berbasis nabati. Salah satu negera di mana daging nabati ini menjadi cukup populer di masa perkembangan pola makan nabati adalah Amerika. Semakin banyak perusahaan daging alternatif yang lahir dengan ide-ide cemerlang serta nama yang unik untuk produk mereka. Mari kita simak perjalanan daging nabati ini.

Sejarah daging nabati di Amerika

Semua orang pasti tahu di bagian mana pun di Amerika baik kota maupun pinggirannya, koboi telah sarat menjadi simbol nasional negara Paman Sam ini, dengan menu makanan mereka yang populer seperti steak daging, hamburger dan tak ketinggalan sosis. Kira-kira bagaimana jika suatu hari nanti simbol ikonik ini berganti misalnya menjadi seorang peneliti dengan jas labnya yang memproduksi burger tradisional yang terbuat bukan dari hewan tetapi dari bahan nabati, mungkinkah ini terjadi? 

Mustahil? Mungkin tidak. Faktanya, saat ini semakin banyak orang Amerika yang menjalani pola makan berbasis nabati. Berdasarkan lahirnya banyak penelitian mengenai pola makan nabati ini, mereka mulai meyakini bahwa pola makan nabati tak memberi kerugian sama sekali bagi tubuh mereka serta juga punya dampak positif terhadap lingkungan. Banyak kaum muda yang telah mencoba bahkan mengatakan pengalaman itu tak seburuk yang mereka bayangkan, hal ini tentu merupakan sebuah perubahan positif. 

Perubahan preferensi makanan ini mungkin terlihat lambat. Tetapi Retro Report, organisasi nirlaba pembuat film dokumenter, mengeksplorasi fenomena ini. Dalam sebuah video dokumenter mereka, seorang penulis buku terkenal tahun 1971 berjudul “Diet for a Small Planet“, Frances Moore Lappé telah mengubah cara pandang banyak orang. 

Ms Lappé menyimpulkan bahwa sebenarnya ada banyak sekali stok makanan. Masalahnya adalah proses distribusinya. Terlalu banyak makanan yang malah disediakan untuk hewan dibandingkan manusia yang menderita kelaparan. 

Jumlah stok makanan yang ada amat cukup memberi makan setiap orang di muka bumi. Tetapi sistem yang ada saat ini sangat tidak efektif, tidak memihak serta melihat kondisi yang perlu dibenahi dalam mengakhiri kasus kelaparan ini.

Dengan semakin banyak penelitian yang dilakukan, kenyataan pola makan berbasis protein hewani turut mencengangkan. Perempuan ini menggambarkannya secara ringkas bagaimana hampir 9 kilo protein diberikan kepada sapi hanya demi 500 gram protein yang dikonsumsi manusia.

Dari sini bisa kita bayangkan bagaimana permasalahannya bahkan data yang diberikan oleh para peneliti UN menyimpulkan bahwa 80% lahan pertanian dipakai untuk industri peternakan.

Bukan hanya dampak dari lahan namun permasalahan seperti gas rumah kaca juga menjadi salah satu masalah yang diperparah oleh industri peternakan ini, Badan Pangan PBB mengatakan bahwa 14,5% emisi gas rumah kaca terjadi karena industri peternakan ini, dan 2/3 penyebabnya adalah sapi.

Singkatnya, penelitian menyimpulkan bahwa menciptakan lahan yang luas lalu mengisinya dengan tumbuhan untuk lantas diubah menjadi protein hewani tetaplah hal yang kurang efisien.

Tak main-main, hasil penelitian ini telah menginspirasi banyak orang untuk menciptakan produk daging alternatif. Meski para peternak dan pendukungnya menentang penggunaan kata “daging” pada bahan bukan daging dari hewani. Daging nabati telah berevolusi, diakui memiliki rasa, tekstur yang sama bahkan aroma yang juga tak kalah sedap dibanding daging hewani.

Salah satu yang terkenal dari Amerika adalah daging alternatif, Beyond Meat. Ethan Brown sang pemilik membangun bisnis ini di tahun 2009 dengan ide yang dianggap radikal bahwa untuk dapat memakan daging, manusia tak harus menyembelih binatang.

Daging Nabati
m.theweekendefition.com.au/Beyond-Burger

Selain itu, daging nabati juga tidak memerlukan lahan dan sumber daya air seluas lahan dan sebanyak air yang di habiskan industri peternakan. Maka dari itu, emisi gas rumah kaca yang terjadi juga jauh lebih sedikit.

Merespon hal tersebut, banyak para perusahaan daging datang dengan berbagai gagasan bahwa tahu atau bahan makanan nabati seperti burger nabati turut memiliki efek samping. Misalnya bagaimana tingginya kadar garam pada makanan berbasis protein nabati tersebut.

Bahkan menurut mereka, isu seperti tingginya dampak efek rumah kaca yang dihasilkan oleh industri peternakan adalah hal yang hiperbola.

Yang jelas adalah perusahaan waralaba yang produknya adalah protein hewani seperti McDonald’s tidak mungkin tutup dalam hitungan malam.

Kendati demikian, semakin banyak restoran cepat saji yang menyediakan pilihan daging nabati pada menu mereka. Pada tahun 2019, daging nabati terjual lebih banyak dibandingkan daging hewani pada outlet-outlet makanan cepat saji, tercatat sekitar 6,4 miliar porsi dibandingkan 228 juta porsi daging hewani.

Frances Moore Lappé menambahkan bahwa dampak produksi makanan terhadap bumi adalah satu permasalahan krusial yang harus benar-benar diperhatikan.

Lebih luas lagi, lebih dari sekedar persoalan daging hewani atau daging nabati, Ia menyinggung mengenai pestisida atau pupuk yang manusia gunakan apakah juga aman untuk lingkungan. Ini adalah permasalahan yang juga turut timbul dari proses menghasilkan makanan.

Wanita ini percaya bahwa dari pola makan, semua orang punya kesempatan untuk berkontribusi mengurangi dampak yang merugikan bumi.